Sabtu, 30 Mei 2015

Bismilahirrahmanirrahimm



Pelet merupakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah Subhana wa Ta’ala), dan jelas hukumnya adalah haram.
Seseorang memelet lawan jenisna, sehingga orang yang dipeletnya jatuh cinta dan tergila-gila. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, orang yang dipelet/kena pelet itu harus segera dinikahinya, naah timbul persoalan bagaimana hukum pernikahannya tersebut ???
Perlu mendapat perhatian yang serius, terjadinya pernikahan akibat pelet tersebut, bahkan peletnya ditambah-tambah karena ada maksud-maksud tertentu, misalnya untuk memisahkan pasangan suami istri yang berujung  kehancuran  rumahtangga tersebut,  membawa adanya perselingkuhan yang menimbulkan konsekwensi-konsekwensi merugikan, baik dari segi materil, retaknya kasih sayang dalam keluarga, putusnya hubungan silaturrahim dengan saudara, dan lain sebagainya.
Akibat dan pengaruh pelet  menghadirkan keganjilan-keganjilan, di mana keganjilan-keganjilan tersebut tidak dirasakan oleh si target, namun dapat dirasakan oleh orang sekelilingnya atas prilaku-prilaku orang yang kena pelet, karena yang ada di pikirannya hanya terfocus kepada orang yang memeletnya/menyihirnya.
Kasus dan phenomena tersebut di atas, banyak terjadi di masyarakat disebabkan kondisi ketauhidan yang awam. Bagi orang-orang yang senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, tentu selalu ada dalam perlindungan Allah Subhana wa Ta’ala.
Sesungguhnya pelet (sihir) itu tidak ada hakikatnya, melainkan hanyalah tipuan syetan kepada orang-orang penghamba hawa nafsu.
Sekarang banyak terjadi, bahkan ditayangkan di media elektronik yang merukyah orang-orang kena sihir. Harus hati-hati dan selalu memohon perlindungan kepada  Dzat yang haq yaitu Allah Subhana wa ta’ala agar tidak terjadi ghurur dalam masalah ini, sebab bila yang merukyah tersebut bukan seorang yang ahlillah, bukan seorang yang selalu istiqomah baik dalam ibadah syari’at maupun ibadah dalam menjaga  kesucian hati/qolbu, bukan orang yang ma’rifatullah, tidak menutup kemungkinan justru akan menambah energi  dan meningkatkan frekwensi makhluq-makhluq jahat dalam diri orang yang dirukyahnya dan menggelincirkan keimanan kepada Allah Subhana wa Ta’ala. Hal tersebut tentu harus ditangani oleh pembimbing ruhani yang betul-betul kemursyidannya dirahmati Allah Subhana wa Ta’ala. Mengapa harus hati-hati dan waspada terhadap masalah tersebut, sebab di dalam berthoriqoh itu ada 2 jenis,ya itu yang bathil dan yang haq. 
(by nimas galuh 2015)

Rabu, 10 September 2014



Panon Batin

Mangsa ngarandeg na hampalan kahayang
Nyuay na gerentes qolbu
Kasorot ku nur elmuna guru
Nuyun sumujud  ka nu ngusik malikkeun badan sakujur
Pikeun eling sangkan salawasna dikir ka Dzat Nu Maha Agung
Nafas mawa kana panon batin nyaliksik ati neangan tapak tilas nu baheula
Singhoreng gambar-gambar pamusyrikan patulayah  ngabelegbeg minuhan bilik hate
Sang guru wakca, geura tobat tur pepes amarah jeung lawamah
Mibanda hate bersih tur suci sangkan dugi ka Dzat Ilahi
Poma na incak saparipolah ulah gumantung ka sasama makhluq
Teuleuman tekad na talaga kama’rifatan sangkan meunang safa’at di gedengeun Nu Maha Welas tur Asih


MULANG  KA  ILAHI

Tutur Sepuh pikeun rundayan,
Anaking  hidep masing miboga du’a Saepi;
Ngawincik  Saepikiran, ngambah kahirupan,
Neureus kana kolbu ngadep cahaya,
Mupus kamusrikan batin nu nyumput lantip,
Mangka nyangking  akidah  kaRosulan.

Poma hidep kudu boga Kuda,
Dina harti kudu daekan,
Daekan nyuprih tur neuleuman elmu,
Pakakas memeres lahir  jeung  batin,
Gera apal ka diri nuyun mulang ka Ilahi.

(kintunan  ti patapaan lempongsari, ku yayat ahadiat)


Siapakah Diri Kita ?

Menyikapi gempuran dari sebahagian orang yang suka menjudge amaliah orang dengan idiom-idiom sesat, musyrik, kafir, dsb., tidak perlu ditanggapi dengan emosi yang justru membawa kita jatuh terpuruk ke dalam kubangan nafsu immaroh dan  lawamah. Semestinya hal tersebut dijadikan samudra kesabaran untuk berlatih dan berjuang,  agar iman kita kepada Pemilik semua makhluq meningkat. Bahwasannya apa yang dituduhkan  hanyalah persangkaan yang terlewat ghuluw, yang hanya melihat dzahirnya saja. Orang yang faham dan menyadari akan dirinya sebagai makhluq ciptaan yang  tidak berdaya dan upaya , tentu akan segera berupaya mencari jalan haq menuju kepada Dzat Pencipta. Bukan jalan bathil atau jalan abu-abu  yang  mencampurkan antara yang haq dan yang bathil, atau bahkan jalan yang seakan-akan membawa kebenaran, namun sesungguhnya adalah jalan yang ditipudayakan jin/setan/iblis.
Suatu kerugian termasuk pula bencana,  bila kita selalu disibukkan dengan membaca amaliah orang lain,  padahal sesungguhnya dalam diri kita juga betapa banyak yang harus dibenahi dan diperbaiki.
Apakah menuju kepadaNya yakni Dzat Pencipta yang memiliki lapadz Allah yang Maha Suci dan Maha Agung itu memerlukan syarat-syarat ? Tentu syaratnya adalah hati/qolbu yang suci pula, bersih dari segala kotoran-kotoran penyakit hati. Selama di dalam hati masih terselip walau sebiji sawi dari keegoisan dan kesombongan diri, selama itu pula ibadah yang kita jalankan tiada bermakna dan bernilai. Ibadah yang tidak berikhlas yang hanya mengejar sebatas fadilah pahala atas pengklaiman diri yang merasa telah mencukupi akan ibadah  kita dalam beramal,  maka hal tersebut laksana orang-orangan (bebegig) di sawah. Lantas amal ibadah yang bagaimana yang diterima Allah Subhana Wa Ta’ala ? Melainkan amal ibadah yang ikhlas, amal ibadah yang tidak mengharapkan pahala, amal ibadah yang berpijak kepada, bahwa kita (manusia) ditugaskan menjadi khalifah di muka bumi ini oleh Allah,  adalah untuk mengabdi kepadaNya, maka amal ibadah yang mencari ridhaNya Allah, yang  dalam aplikasinya mengejawantah ke dalam sifat-sifat keteladanan Rosulullah yaitu siddiq, amanah, pathanah, dan tabligh, melalui perjuangan (jihad ). Jihad yang dimaksud  tiada lain adalah melawan hawa nafsu sendiri.
Bagaimana dengan kebenaran ? Semua orang dan setiap orang mengusung visi dan misi kebenaran dalam hidupnya. Pasti kebenaran itu adalah satu yaitu dari Dzat Pencipta yakni Allah Azza wa Jalla. Hadts Qauliyah  dalam  kitab Tauhid “ Jami’ul Muqni”  menerangkan “ Man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu”, yang artinya barang siapa mengenal dirinya, tentu  mengenal pula Penciptanya. Diri yang menyadari akan hal itu tentu akan mencari jalan kebenaran tersebut yang tak lain adalah dengan bertauhid, bertauhid kepada yang Haq dan  yang sesungguhnya, bukan kepada yang bathil atau juga bukan kepada yang seakan-akan haq, namun sesungguhnya hanya tipuan  jin/setan/iblis.  Bertauhid itu merupakan sesuatu yang mutlaq dan pardhu a’in, maka semenjak mukallap tentang hal tersebut sudah menjadi suatu keharusan menempuh dan mencari jati diri kita, siapakah kita ? Menyadari akan hal ini tentu tiada lain adalah dengan memiliki ilmu, yaitu ilmu nafi, ilmu yang bermanfa’at  yang menuntun kita kembali kepada Dzat Pencipta Allah Subhana Wa Ta’ala, untuk mengenalNya sampai meraih derajat keimanan kepadaNya yang haqqul yaqin. Hamba Allah yang telah menyadari demikian,  maka hati/qolbunya diperjalankan menuju kepadaNya. Mengingat perjalanan tersebut adalah perjalanan hati/qolbu,  mengharuskan pengawasan dan bimbingan guru ruhani yang ahli dalam thariqoh,  hakikat, dan  juga yang sekaligus mumpuni di bidang syari’atnya, di mana sumber keilmuannya tersebut tidak lepas dari Al’Qur’an dan Hadits juga mengikuti  para ulama shalih, siddiqin, dan a’rifin. Guru tersebut adalah guru yang betul-betul mursyid dan  ahlillah, tanpa kondisi demikian para salikin terancam ghurur, tergelincir ke dalam rekayasa/tipu daya jin/setan/iblis, karena telah mengambil jalan salah.
Merujuk kepada Sabda Rosulullah, Beliau menjelaskan tentang umatnya di akhir jaman terpecah menjadi 73 golongan, dari ke 73 golongan tersebut yang selamat aqidahnya adalah 1 golongan, ya itu umat Islam  yang beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Siapakah dan bagaimanakah dari umat Islam yang beraqidah ahlussunnah wal jama’ah itu ? Penegak ahlussunnah wal Jama’ah itu adalah : yang berusaha menyelamatkan aqidahnya agar selamat dalam beraqidah,  yang berusaha agar sah dalam beribadah, dan yang berusaha agar berakhlaqul karimah. Maka Rosulullah menjelaskan lagi bahwa  sampai akhir jaman tak kan berhenti dari umatnya yang mendzahirkan haq, yaitu yang menjalankan syari’at agar sah dalam beribadah, menjalankan thariqoh agar memiliki akhlaqul karimah, dan menjalankan hakikat agar selamat dalam i’tiqad beraqidah karena hal ini menyangkut bertauhidnya seorang mahkluq kepada yang haq  Dzat Pencipta yakni Allah Subhana Wa Ta’ala, itulah yang disebut dinnul haq yaitu "AL JAM'U BAENA SYARI'AT WAL HAKIKAT".
(by nimasgaluh jatinagara, september 2014)

Jumat, 28 Maret 2014

Menggapai RidhoMu



Bukan air mata lagi menangis melainkan hati
Bukan lautan yang disebrangi melainkan kedalaman
misteri samudra qolbu
Bukan terjalnya bukit didaki melainkan kesabaran rasa
Dan bukan pula keharuman bunga pujian
Melainkan pakaian ikhlas yang menutupi bathin
Maka ridhoMu Ya Rabb yang menaungi seluruh Alam

Menatap waktu
Yaa ... Rabb perjalankanlah hambaMu menujuMu
Lupakan dunia yang menyesakkan
Yaa ... Rabb Yang Maha Agung
Terimalah simpuhku yang berbau amis
Karena melalaikanMu

Bila keluhan dalam do’a tak sampai itu tertunda kejujuran
Bila kelembutan hanya bertampak karena terpenjara fatamorgana
Bila selalu terpaut penglihatan dunia
Tersimpan desah hewani yang menyelusup
Dan menghilangkan cerdasnya kearifan pertanda amarah
Kepekatan malam adalah hamparan noda-noda
Yang hanya dapat disucikan Rahmat Illahi
Bertaburkan bintang-bintang kemuliaan akhlaq hambaMu

Maka ...
Ujian kesabaran itu setiap saat
Ujian kesabaran ada pada setiap kehidupan
Ujian kesabaran menimpa setiap makhluq
Ujian kesabaran berlaku kepada semua keadaan
Namun ujian terberat ...
Adalah saat sakaratul maut karena merupakan
Ujian keimanan manusia terpuncak kepada Dzat Sang Pencipta
(by nimasgaluh, 28 Maret 2014)