Tak terasa perjalanan pulang kembali
sudah sampai di tapal batas wilayah negara, sebuah wilayah kerajaan di mana dia
dilahirkan sebagai seorang putri kedaton. Tapal batas kerajaan itu adalah
sebuah sungai, yang ditandai dengan keluarnya air yang membludak dari dalam
terowongan laksana keluar dari tenggorokan, dan terowongan air tersebut
dinamakan Sanghyang Tikoro, sekarang sungai tersebut menjadi batas wilayah
antara pemerintahan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Dia berpikir sudah tak mungkin para
pengejar dapat menyusul dia dan para dayang, karena sudah jauh sekali, dan juga
tidak mungkin ketahuan sebab dalam perjalanan menuju ke tanah kelahirannya
dengan sengaja menyamar, meyamar dari prajurit-prajurit yang senantiasa hendak
menangkapnya agar bersedia menjadi persembahan upeti.
Dalam kepergiannya bersama ayahandanya
tercinta ke tanah Majapait membawa harapan karena akan dipertemukan dengan
saudara yang kebetulan sudah lama tak
bersua tak lebih dari itu, oleh karena, maka ketika ada undangan yang
dinisbatkan sebagai pinangan untuk dirinya, dengan penuh perrtimbangan,
mengingat tiada lazim pihak perempuan menemui pihak laki-laki, namun dasarnya
adalah persaudararan, berangkatlah bersama para pengawal dan parang dayang,
namun tidak banyak yang ikut pergi ke sana, seperti yang diceritakan selama
ini, dan menurutku tidak tepatlah peristiwa tersebut sebagai peristiwa perang
layaknya adu dua kekuatan yang lengkap dengan persenjataan.
Hari telah menjelang sore, terlihat
sebuah batu di tempat yang menjorok (sedong) seperti layak untuk diduduki dalam
mengasingkan diri. Dikeluarkanlah
mahkota (makuta) dari dalam gendongan (buntelan), sebagai tanda atau
identitas bahwa dia seorang putri.
Dalam pengembaraan itu tak seorang pun
tahu bahwa dia adalah seorang putri kedaton dari sebuah kerajaan berdaulat,
jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali pulang
dan menempati Kaputren tempat dia bercengkrama dengan handai taulan,
bertemu dengan saudara dan Ibu permaisuri yang melahirkannya, namun dalam diri
sudah bertekad tidak mungkin kembali ke Kerajaan, karena suatu alasan yang
tidak dapat semua orang memahami apa yang sebenarnya sudah terjadi. Mereka
hanya tahu bahwa kami semua sudah gugur dalam peristiwa tersebut.
Selama kurun dalam pengasingan bertapa,
di suatu waktu dan di suatu saat
senantiasa mengadakan perjalanan ke daerah sekeliling, namun selalu kembali ke
tempat dia bertapa di batu yang menyedong itu.
Seiring waktu dan masa berlalu jamanpun
berubah sesuai kondisi dan situasi yang menyertainya, maka tempat di mana dia
pernah mengeluarkan sebuah mahkota (Makuta : istilah dalam Bahasa Sunda).
Tempat itu kini bernama Kampung Kuta, dan tempat bekas pertapaannya di batu
yang menyedong tersebut bernama Kampung Sodong. Kedua tempat tersebut sekarang
berada di wilayah kecamatan Tambaksari kabupaten Ciamis.
(by nimasgaluh, 2012)