Rabu, 10 September 2014



Panon Batin

Mangsa ngarandeg na hampalan kahayang
Nyuay na gerentes qolbu
Kasorot ku nur elmuna guru
Nuyun sumujud  ka nu ngusik malikkeun badan sakujur
Pikeun eling sangkan salawasna dikir ka Dzat Nu Maha Agung
Nafas mawa kana panon batin nyaliksik ati neangan tapak tilas nu baheula
Singhoreng gambar-gambar pamusyrikan patulayah  ngabelegbeg minuhan bilik hate
Sang guru wakca, geura tobat tur pepes amarah jeung lawamah
Mibanda hate bersih tur suci sangkan dugi ka Dzat Ilahi
Poma na incak saparipolah ulah gumantung ka sasama makhluq
Teuleuman tekad na talaga kama’rifatan sangkan meunang safa’at di gedengeun Nu Maha Welas tur Asih


MULANG  KA  ILAHI

Tutur Sepuh pikeun rundayan,
Anaking  hidep masing miboga du’a Saepi;
Ngawincik  Saepikiran, ngambah kahirupan,
Neureus kana kolbu ngadep cahaya,
Mupus kamusrikan batin nu nyumput lantip,
Mangka nyangking  akidah  kaRosulan.

Poma hidep kudu boga Kuda,
Dina harti kudu daekan,
Daekan nyuprih tur neuleuman elmu,
Pakakas memeres lahir  jeung  batin,
Gera apal ka diri nuyun mulang ka Ilahi.

(kintunan  ti patapaan lempongsari, ku yayat ahadiat)


Siapakah Diri Kita ?

Menyikapi gempuran dari sebahagian orang yang suka menjudge amaliah orang dengan idiom-idiom sesat, musyrik, kafir, dsb., tidak perlu ditanggapi dengan emosi yang justru membawa kita jatuh terpuruk ke dalam kubangan nafsu immaroh dan  lawamah. Semestinya hal tersebut dijadikan samudra kesabaran untuk berlatih dan berjuang,  agar iman kita kepada Pemilik semua makhluq meningkat. Bahwasannya apa yang dituduhkan  hanyalah persangkaan yang terlewat ghuluw, yang hanya melihat dzahirnya saja. Orang yang faham dan menyadari akan dirinya sebagai makhluq ciptaan yang  tidak berdaya dan upaya , tentu akan segera berupaya mencari jalan haq menuju kepada Dzat Pencipta. Bukan jalan bathil atau jalan abu-abu  yang  mencampurkan antara yang haq dan yang bathil, atau bahkan jalan yang seakan-akan membawa kebenaran, namun sesungguhnya adalah jalan yang ditipudayakan jin/setan/iblis.
Suatu kerugian termasuk pula bencana,  bila kita selalu disibukkan dengan membaca amaliah orang lain,  padahal sesungguhnya dalam diri kita juga betapa banyak yang harus dibenahi dan diperbaiki.
Apakah menuju kepadaNya yakni Dzat Pencipta yang memiliki lapadz Allah yang Maha Suci dan Maha Agung itu memerlukan syarat-syarat ? Tentu syaratnya adalah hati/qolbu yang suci pula, bersih dari segala kotoran-kotoran penyakit hati. Selama di dalam hati masih terselip walau sebiji sawi dari keegoisan dan kesombongan diri, selama itu pula ibadah yang kita jalankan tiada bermakna dan bernilai. Ibadah yang tidak berikhlas yang hanya mengejar sebatas fadilah pahala atas pengklaiman diri yang merasa telah mencukupi akan ibadah  kita dalam beramal,  maka hal tersebut laksana orang-orangan (bebegig) di sawah. Lantas amal ibadah yang bagaimana yang diterima Allah Subhana Wa Ta’ala ? Melainkan amal ibadah yang ikhlas, amal ibadah yang tidak mengharapkan pahala, amal ibadah yang berpijak kepada, bahwa kita (manusia) ditugaskan menjadi khalifah di muka bumi ini oleh Allah,  adalah untuk mengabdi kepadaNya, maka amal ibadah yang mencari ridhaNya Allah, yang  dalam aplikasinya mengejawantah ke dalam sifat-sifat keteladanan Rosulullah yaitu siddiq, amanah, pathanah, dan tabligh, melalui perjuangan (jihad ). Jihad yang dimaksud  tiada lain adalah melawan hawa nafsu sendiri.
Bagaimana dengan kebenaran ? Semua orang dan setiap orang mengusung visi dan misi kebenaran dalam hidupnya. Pasti kebenaran itu adalah satu yaitu dari Dzat Pencipta yakni Allah Azza wa Jalla. Hadts Qauliyah  dalam  kitab Tauhid “ Jami’ul Muqni”  menerangkan “ Man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu”, yang artinya barang siapa mengenal dirinya, tentu  mengenal pula Penciptanya. Diri yang menyadari akan hal itu tentu akan mencari jalan kebenaran tersebut yang tak lain adalah dengan bertauhid, bertauhid kepada yang Haq dan  yang sesungguhnya, bukan kepada yang bathil atau juga bukan kepada yang seakan-akan haq, namun sesungguhnya hanya tipuan  jin/setan/iblis.  Bertauhid itu merupakan sesuatu yang mutlaq dan pardhu a’in, maka semenjak mukallap tentang hal tersebut sudah menjadi suatu keharusan menempuh dan mencari jati diri kita, siapakah kita ? Menyadari akan hal ini tentu tiada lain adalah dengan memiliki ilmu, yaitu ilmu nafi, ilmu yang bermanfa’at  yang menuntun kita kembali kepada Dzat Pencipta Allah Subhana Wa Ta’ala, untuk mengenalNya sampai meraih derajat keimanan kepadaNya yang haqqul yaqin. Hamba Allah yang telah menyadari demikian,  maka hati/qolbunya diperjalankan menuju kepadaNya. Mengingat perjalanan tersebut adalah perjalanan hati/qolbu,  mengharuskan pengawasan dan bimbingan guru ruhani yang ahli dalam thariqoh,  hakikat, dan  juga yang sekaligus mumpuni di bidang syari’atnya, di mana sumber keilmuannya tersebut tidak lepas dari Al’Qur’an dan Hadits juga mengikuti  para ulama shalih, siddiqin, dan a’rifin. Guru tersebut adalah guru yang betul-betul mursyid dan  ahlillah, tanpa kondisi demikian para salikin terancam ghurur, tergelincir ke dalam rekayasa/tipu daya jin/setan/iblis, karena telah mengambil jalan salah.
Merujuk kepada Sabda Rosulullah, Beliau menjelaskan tentang umatnya di akhir jaman terpecah menjadi 73 golongan, dari ke 73 golongan tersebut yang selamat aqidahnya adalah 1 golongan, ya itu umat Islam  yang beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Siapakah dan bagaimanakah dari umat Islam yang beraqidah ahlussunnah wal jama’ah itu ? Penegak ahlussunnah wal Jama’ah itu adalah : yang berusaha menyelamatkan aqidahnya agar selamat dalam beraqidah,  yang berusaha agar sah dalam beribadah, dan yang berusaha agar berakhlaqul karimah. Maka Rosulullah menjelaskan lagi bahwa  sampai akhir jaman tak kan berhenti dari umatnya yang mendzahirkan haq, yaitu yang menjalankan syari’at agar sah dalam beribadah, menjalankan thariqoh agar memiliki akhlaqul karimah, dan menjalankan hakikat agar selamat dalam i’tiqad beraqidah karena hal ini menyangkut bertauhidnya seorang mahkluq kepada yang haq  Dzat Pencipta yakni Allah Subhana Wa Ta’ala, itulah yang disebut dinnul haq yaitu "AL JAM'U BAENA SYARI'AT WAL HAKIKAT".
(by nimasgaluh jatinagara, september 2014)

Jumat, 28 Maret 2014

Menggapai RidhoMu



Bukan air mata lagi menangis melainkan hati
Bukan lautan yang disebrangi melainkan kedalaman
misteri samudra qolbu
Bukan terjalnya bukit didaki melainkan kesabaran rasa
Dan bukan pula keharuman bunga pujian
Melainkan pakaian ikhlas yang menutupi bathin
Maka ridhoMu Ya Rabb yang menaungi seluruh Alam

Menatap waktu
Yaa ... Rabb perjalankanlah hambaMu menujuMu
Lupakan dunia yang menyesakkan
Yaa ... Rabb Yang Maha Agung
Terimalah simpuhku yang berbau amis
Karena melalaikanMu

Bila keluhan dalam do’a tak sampai itu tertunda kejujuran
Bila kelembutan hanya bertampak karena terpenjara fatamorgana
Bila selalu terpaut penglihatan dunia
Tersimpan desah hewani yang menyelusup
Dan menghilangkan cerdasnya kearifan pertanda amarah
Kepekatan malam adalah hamparan noda-noda
Yang hanya dapat disucikan Rahmat Illahi
Bertaburkan bintang-bintang kemuliaan akhlaq hambaMu

Maka ...
Ujian kesabaran itu setiap saat
Ujian kesabaran ada pada setiap kehidupan
Ujian kesabaran menimpa setiap makhluq
Ujian kesabaran berlaku kepada semua keadaan
Namun ujian terberat ...
Adalah saat sakaratul maut karena merupakan
Ujian keimanan manusia terpuncak kepada Dzat Sang Pencipta
(by nimasgaluh, 28 Maret 2014)

Minggu, 02 Februari 2014



SYAIKH ZAKARIYA (Syeh Quro)

      Zakariya Al- Anshori adalah kakek buyut Syaikhuna Apa Toto Syarif Muhamad Zakariya Rohimahumullah ( Mesjid Jami Lailatul Qodar Poponcol Karawang), beliau adalah seorang ulama besar pada jamannya, yaitu antara tahun 826 – 926 M yang termashur ke seluruh dunia waktu itu. Hal ini ditukil dari kitab Thobaqotus Syafi’iyatul Kubro yaitu tentang data para Ulama besar fiqih Madzhab Syafi’i setiap generasi,  karya Syaikh Tajuddin as Subki.
     Pada tahun 198 H yang bersamaan dengan diangkatnya Gubernur Kairo Mesir yaitu  Abbas bin Musa yang mencintai Imam Syafi’i, beliau Imam Syafi’i kemudian menetap di Kairo bersama muridnya yang bernama Syaikh Abdullah bin Al Hakam sampai wafatnya pada tahun 204 H. Adapun tempat belajar mengajar Ulama yaitu murid-muridnya Imam Syafi’i adalah Jami Al Azhar yang berkembang menjadi UNIVERSITAS AL AZHAR sekarang. Naah di sinilah Syaikh Zakariya belajar sejak kecil, dan tercatat pada masa remajanya sudah hafal Al-Qur’an, hafal kitab Al ‘Umdah dan Mukhtashar Attibrizi, kemudian beliau  menjadi Guru Besar di Al Azhar sejak usia 40 tahun hingga usia 100 tahun. Beliau mengarang kitab Fiqih MINHAJUT THULAB, diperjelas lagi menjadi kitab Fathul Wahab yang terkenal dan banyak dijadikan kajian-kajian di pesantren-pesantren di Indonesia, kemudian beliau mengarang lagi kitab Tahrir dan FATHURRAHMAN.
Pada tahun 926 M Syaikh Zakariya Al Anshori selesai mengajar di Al Azhar, kemudian beliau mengembara ke daerah Timur sampailah ke Indonesia. Beliau menyebarkan Islam di pulau Sumatra dan Jawa. Bukti beliau andil dalam menyebarkan agama Islam adalah terdapatnya naskah kitab Fathul Wahab karya Beliau yang dihadiahkan kepada Raja di Riau, hingga sekarang naskah kitab tersebut ada di Istana Kuntu-Kampar Kiri Riau sebagai cindera mata.
Beliau mengembara lagi ke Pulau Jawa dan bergabung dengan Wali Songo, waktu itu sudah ada Kerajaan Islam yaitu Mataram dengan rajanya Sultan Agung, lalu VOC (Belanda) datang menguasai Sunda Kalapa  yang mereka namai BATAVIA. Sultan Agung pun memerangi Belanda tetapi selalu kalah. Atas rekomendasi para wali Songo ( majelis Wali di Demak), Sultan Agung memberikan mandat pada Syaikh Zakariya Al Anshori untuk memimpin pasukan, karena lidah orang Jawa yang kental, mereka para pasukan tersalah memanggil Beliau, harusnya Zakariya namun menjadi Jayakarta. Terkenallah dengan sebutan Pangeran Jayakarta, namun dengan begitu Beliau tidak menggubrisnya apa pun orang memanggilnya. Akhirnya Belanda pun kalah oleh pasukan Pangeran Jayakarta. Selanjutnya beliau mengelana mendakwahkan Islam dari daerah ke daerah lain, salah satu di antaranya adalah Karawang, masyarakat menggelarinya dengan sebutan Syeh Quro.   
            (Kintunan Lutfi : Ponpes Daarul Iman Karawang, diropea ku nimasgaluh)