Siapakah Diri Kita ?
Menyikapi gempuran dari sebahagian orang yang suka
menjudge amaliah orang dengan idiom-idiom sesat, musyrik, kafir, dsb., tidak
perlu ditanggapi dengan emosi yang justru membawa kita jatuh terpuruk ke dalam
kubangan nafsu immaroh dan lawamah.
Semestinya hal tersebut dijadikan samudra kesabaran untuk berlatih dan berjuang,
agar iman kita kepada Pemilik semua
makhluq meningkat. Bahwasannya apa yang dituduhkan hanyalah persangkaan yang terlewat ghuluw,
yang hanya melihat dzahirnya saja. Orang yang faham dan menyadari akan dirinya
sebagai makhluq ciptaan yang tidak
berdaya dan upaya , tentu akan segera berupaya mencari jalan haq menuju kepada
Dzat Pencipta. Bukan jalan bathil atau jalan abu-abu yang mencampurkan antara yang haq dan yang bathil,
atau bahkan jalan yang seakan-akan membawa kebenaran, namun sesungguhnya adalah
jalan yang ditipudayakan jin/setan/iblis.
Suatu kerugian termasuk pula bencana, bila kita selalu disibukkan dengan membaca
amaliah orang lain, padahal sesungguhnya
dalam diri kita juga betapa banyak yang harus dibenahi dan diperbaiki.
Apakah menuju kepadaNya yakni Dzat Pencipta yang
memiliki lapadz Allah yang Maha Suci dan Maha Agung itu memerlukan
syarat-syarat ? Tentu syaratnya adalah hati/qolbu yang suci pula, bersih dari
segala kotoran-kotoran penyakit hati. Selama di dalam hati masih terselip walau
sebiji sawi dari keegoisan dan kesombongan diri, selama itu pula ibadah yang
kita jalankan tiada bermakna dan bernilai. Ibadah yang tidak berikhlas yang hanya
mengejar sebatas fadilah pahala atas pengklaiman diri yang merasa telah
mencukupi akan ibadah kita dalam
beramal, maka hal tersebut laksana
orang-orangan (bebegig) di sawah. Lantas amal ibadah yang bagaimana yang
diterima Allah Subhana Wa Ta’ala ? Melainkan amal ibadah yang ikhlas, amal
ibadah yang tidak mengharapkan pahala, amal ibadah yang berpijak kepada, bahwa
kita (manusia) ditugaskan menjadi khalifah di muka bumi ini oleh Allah, adalah untuk mengabdi kepadaNya, maka amal
ibadah yang mencari ridhaNya Allah, yang
dalam aplikasinya mengejawantah ke dalam sifat-sifat keteladanan
Rosulullah yaitu siddiq, amanah, pathanah, dan tabligh, melalui perjuangan
(jihad ). Jihad yang dimaksud tiada lain
adalah melawan hawa nafsu sendiri.
Bagaimana dengan kebenaran ? Semua orang dan setiap
orang mengusung visi dan misi kebenaran dalam hidupnya. Pasti kebenaran itu
adalah satu yaitu dari Dzat Pencipta yakni Allah Azza wa Jalla. Hadts Qauliyah dalam kitab
Tauhid “ Jami’ul Muqni” menerangkan “
Man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu”, yang artinya barang siapa mengenal
dirinya, tentu mengenal pula
Penciptanya. Diri yang menyadari akan hal itu tentu akan mencari jalan kebenaran
tersebut yang tak lain adalah dengan bertauhid, bertauhid kepada yang Haq
dan yang sesungguhnya, bukan kepada yang
bathil atau juga bukan kepada yang seakan-akan haq, namun sesungguhnya hanya
tipuan jin/setan/iblis. Bertauhid itu merupakan sesuatu yang mutlaq
dan pardhu a’in, maka semenjak mukallap tentang hal tersebut sudah menjadi suatu
keharusan menempuh dan mencari jati diri kita, siapakah kita ? Menyadari akan
hal ini tentu tiada lain adalah dengan memiliki ilmu, yaitu ilmu nafi, ilmu
yang bermanfa’at yang menuntun kita
kembali kepada Dzat Pencipta Allah Subhana Wa Ta’ala, untuk mengenalNya sampai
meraih derajat keimanan kepadaNya yang haqqul yaqin. Hamba Allah yang telah
menyadari demikian, maka hati/qolbunya
diperjalankan menuju kepadaNya. Mengingat perjalanan tersebut adalah perjalanan
hati/qolbu, mengharuskan pengawasan dan
bimbingan guru ruhani yang ahli dalam thariqoh,
hakikat, dan juga yang sekaligus
mumpuni di bidang syari’atnya, di mana sumber keilmuannya tersebut tidak lepas
dari Al’Qur’an dan Hadits juga mengikuti
para ulama shalih, siddiqin, dan a’rifin. Guru tersebut adalah guru yang
betul-betul mursyid dan ahlillah, tanpa
kondisi demikian para salikin terancam ghurur, tergelincir ke dalam
rekayasa/tipu daya jin/setan/iblis, karena telah mengambil jalan salah.
Merujuk kepada Sabda Rosulullah, Beliau menjelaskan
tentang umatnya di akhir jaman terpecah menjadi 73 golongan, dari ke 73
golongan tersebut yang selamat aqidahnya adalah 1 golongan, ya itu umat
Islam yang beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Siapakah dan bagaimanakah dari umat Islam yang beraqidah ahlussunnah wal jama’ah
itu ? Penegak ahlussunnah wal Jama’ah itu adalah : yang berusaha menyelamatkan
aqidahnya agar selamat dalam beraqidah,
yang berusaha agar sah dalam beribadah, dan yang berusaha agar
berakhlaqul karimah. Maka Rosulullah menjelaskan lagi bahwa sampai akhir jaman tak kan berhenti dari
umatnya yang mendzahirkan haq, yaitu yang menjalankan syari’at agar sah dalam
beribadah, menjalankan thariqoh agar memiliki akhlaqul karimah, dan menjalankan
hakikat agar selamat dalam i’tiqad beraqidah karena hal ini menyangkut
bertauhidnya seorang mahkluq kepada yang haq Dzat Pencipta yakni Allah Subhana Wa Ta’ala, itulah
yang disebut dinnul haq yaitu "AL JAM'U BAENA SYARI'AT WAL HAKIKAT".
(by nimasgaluh jatinagara, september 2014)