Rabu, 29 Agustus 2012


KONTROVERSI BUBAT

Titik pemberangkatan argumentasi saya atas kajian peristiwa Bubat yang melahirkan kontroversi adalah 2 hal yang dianggap paling mendasar, pertama adanya penyangkalan terhadap bahwa peristiwa Bubat tidak pernah terjadi, kedua adanya perekayasaan terhadap pengkisahan peristiwa tersebut dalam penulisan, baik di Kidung Sunda atau juga di Kidung Sundayana, yang nota bene ditulis oleh seorang Dharmadyaksa dari Bali atas suruhan pihak Majapahit sendiri.

 Seandainya semua dari kita mau jujur dan gentlemen, menjelaskan tentang kebenaran yang sebenar-benarnya peristiwa tersebut. Barangkali kontroversi tentang kejadian Bubat tak perlu menjadi perdebatan berkepanjangan laksana lingkaran tiada ujung, bahkan  misteri peristiwa tersebut lebih misterius untuk diurai, yang dikhawatirkan malah semakin meruncing sentimen sukuisme antara Sunda dan Jawa atau Jawa dan Sunda. Padahal kalau kita runut ke belakang kejadian tersebut sudah ratusan tahun berlalu, biarlah peristiwa Bubat menjadi warna perjalanan sejarah Nusantara Indonesia, dan bagi orang Sunda merupakan sejarah tersendiri yang tersimpan di lubuk hati masing-masing, toh bila sesuatu sudah terjadi, hal itu merupakan sebuah guratan takdir dariYang  Maha Kuasa, tidak perlu menjadi bara dendam di hati terus menerus. Kalau yang dipersoalkan bertalian dengan di kota Bandung tidak ada nama jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, barangkali di sini diperlukan sikap toleransi dan tenggang rasa atas kejadian yang menimpa terhadap nenek moyang orang Sunda dahulu, jangan dianggap orang Sunda tidak menaruh hormat terhadap jiwa persatuan dan kesatuan dalam frame NKRI.

          Sejatinya nenek moyang orang Sunda tidak berpendapat,  bahwa di kota Bandung tidak ada jalan bernama Gajah Mada dan Hayam Wuruk  sebagai akibat dari Tragedi Bubat,  melainkan  didasarkan kepada argumentasi dari kronologis perjalanan sejarah yang terjadi di tatar Pasundan.

   Dari mulai berdirinya kerajaan Salakanagara pada abad kesatu Masehi, yang kemudian diteruskan pada era Tarumanagara, sampai kepada masa berdirinya 2 kerajaan kembar yaitu Kerajaan Sunda di sebelah barat sungai Citarum, dan Kerajaan Galuh di sebelah timur sungai Citarum yang wilayahnya sekarang bernama Provinsi Jawa Barat. Diceritakan sampai kepada era kerajaan Galuh Kawali yang sejaman dengan Kerajaan Majapahit di sebelah timur,  sekarang  bernama Provinsi Jawa Timur, bahwa Kerajaan Galuh (Sunda) tidak pernah dikuasai oleh Majapahit. Kerajaan Galuh yang  pada masa itu berpusat di Kawali , merupakan sebuah kerajaan yang merdeka dan juga tidak ada pitutur yang menerangkan bahwa kerajaan yang berdiri di wilayah tersebut, selain tidak pernah berada di bawah kekuasaam Majapahit, juga tidak pernah menguasai/menjajah wilayah lain , kecuali daerah Kandaga Lante yang mengakui kedaulatan kekuasaan kerajaan  baik  Sunda,  Galuh, atau  Pajajaran.  Oleh karena itu pada rembukan untuk menamai jalan di kota Bandung  berdasarkan  argumentasi , bahwa  pada saat itu Sunda tidak berada pada kekuasaan Majapahit sekaligus terlepas dari Sumpah Palapanya Gajah Mada. Kesimpulannya,  tuduhan terhadap orang Sunda, yang katanya  “PENDENDAM”, adalah tidak tepat.

Hakikinya, dari sejarah untuk sejarah dan oleh sejarah, maka sebagai generasi pewaris sejarah tersebut menjadi sebuah keniscayaan untuk berlaku arif dalam menyikapi dan menilai dari kesejatian sejarah itu sendiri. Al hasil dari itu semua dijadikan pembelajaran yang berharga dalam kerangka membangun karakter bangsa menuju kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

                                                                           (by nimasgaluh, 2012)

   

1 komentar:

  1. mantap ! yuk kita para generasi penerus bangsa, mari kita bersikap adil (objektif)

    BalasHapus