KONTROVERSI BUBAT
Titik pemberangkatan argumentasi saya atas
kajian peristiwa Bubat yang melahirkan kontroversi adalah 2 hal yang dianggap
paling mendasar, pertama adanya penyangkalan terhadap bahwa peristiwa Bubat
tidak pernah terjadi, kedua adanya perekayasaan terhadap pengkisahan peristiwa
tersebut dalam penulisan, baik di Kidung Sunda atau juga di Kidung Sundayana,
yang nota bene ditulis oleh seorang Dharmadyaksa dari Bali atas suruhan pihak
Majapahit sendiri.
Seandainya semua dari kita mau jujur dan
gentlemen, menjelaskan tentang kebenaran yang sebenar-benarnya peristiwa
tersebut. Barangkali kontroversi tentang kejadian Bubat tak perlu menjadi
perdebatan berkepanjangan laksana lingkaran tiada ujung, bahkan misteri
peristiwa tersebut lebih misterius untuk diurai, yang dikhawatirkan malah
semakin meruncing sentimen sukuisme antara Sunda dan Jawa atau Jawa dan Sunda.
Padahal kalau kita runut ke belakang kejadian tersebut sudah ratusan tahun
berlalu, biarlah peristiwa Bubat menjadi warna perjalanan sejarah Nusantara
Indonesia, dan bagi orang Sunda merupakan sejarah tersendiri yang tersimpan di
lubuk hati masing-masing, toh bila sesuatu sudah terjadi, hal itu merupakan
sebuah guratan takdir dariYang Maha
Kuasa, tidak perlu menjadi bara dendam di hati terus menerus. Kalau yang dipersoalkan
bertalian dengan di kota Bandung tidak ada nama jalan Hayam Wuruk dan Gajah
Mada, barangkali di sini diperlukan sikap toleransi dan tenggang rasa atas
kejadian yang menimpa terhadap nenek moyang orang Sunda dahulu, jangan dianggap
orang Sunda tidak menaruh hormat terhadap jiwa persatuan dan kesatuan dalam
frame NKRI.
Sejatinya nenek moyang orang
Sunda tidak berpendapat, bahwa di kota
Bandung tidak ada jalan bernama Gajah Mada dan Hayam Wuruk sebagai akibat dari Tragedi Bubat, melainkan
didasarkan kepada argumentasi dari kronologis perjalanan sejarah yang
terjadi di tatar Pasundan.
Dari
mulai berdirinya kerajaan Salakanagara pada abad kesatu Masehi, yang kemudian
diteruskan pada era Tarumanagara, sampai kepada masa berdirinya 2 kerajaan
kembar yaitu Kerajaan Sunda di sebelah barat sungai Citarum, dan Kerajaan Galuh
di sebelah timur sungai Citarum yang wilayahnya sekarang bernama Provinsi Jawa
Barat. Diceritakan sampai kepada era kerajaan Galuh Kawali yang sejaman dengan
Kerajaan Majapahit di sebelah timur,
sekarang bernama Provinsi Jawa
Timur, bahwa Kerajaan Galuh (Sunda) tidak pernah dikuasai oleh Majapahit.
Kerajaan Galuh yang pada masa itu
berpusat di Kawali , merupakan sebuah kerajaan yang merdeka dan juga tidak ada
pitutur yang menerangkan bahwa kerajaan yang berdiri di wilayah tersebut,
selain tidak pernah berada di bawah kekuasaam Majapahit, juga tidak pernah
menguasai/menjajah wilayah lain , kecuali daerah Kandaga Lante yang mengakui
kedaulatan kekuasaan kerajaan baik Sunda,
Galuh, atau Pajajaran. Oleh karena itu pada rembukan untuk menamai
jalan di kota Bandung berdasarkan argumentasi , bahwa pada saat itu Sunda tidak berada pada
kekuasaan Majapahit sekaligus terlepas dari Sumpah Palapanya Gajah Mada.
Kesimpulannya, tuduhan terhadap orang
Sunda, yang katanya “PENDENDAM”, adalah
tidak tepat.
Hakikinya, dari sejarah untuk sejarah dan oleh
sejarah, maka sebagai generasi pewaris sejarah tersebut menjadi sebuah
keniscayaan untuk berlaku arif dalam menyikapi dan menilai dari kesejatian
sejarah itu sendiri. Al hasil dari itu semua dijadikan pembelajaran yang berharga
dalam kerangka membangun karakter bangsa menuju kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia.
(by
nimasgaluh, 2012)
mantap ! yuk kita para generasi penerus bangsa, mari kita bersikap adil (objektif)
BalasHapus