Kamis, 29 November 2012

LEGENDA KAMPUNG "KUTA" DAN KAMPUNG "SODONG" (Tambaksari - Ciamis)


 

 

 

Tak terasa perjalanan pulang kembali sudah sampai di tapal batas wilayah negara, sebuah wilayah kerajaan di mana dia dilahirkan sebagai seorang putri kedaton. Tapal batas kerajaan itu adalah sebuah sungai, yang ditandai dengan keluarnya air yang membludak dari dalam terowongan laksana keluar dari tenggorokan, dan terowongan air tersebut dinamakan Sanghyang Tikoro, sekarang sungai tersebut menjadi batas wilayah antara pemerintahan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah.

  

Dia berpikir sudah tak mungkin para pengejar dapat menyusul dia dan para dayang, karena sudah jauh sekali, dan juga tidak mungkin ketahuan sebab dalam perjalanan menuju ke tanah kelahirannya dengan sengaja menyamar, meyamar dari prajurit-prajurit yang senantiasa hendak menangkapnya agar bersedia menjadi persembahan upeti.

 

Dalam kepergiannya bersama ayahandanya tercinta ke tanah Majapait membawa harapan karena akan dipertemukan dengan saudara  yang kebetulan sudah lama tak bersua tak lebih dari itu, oleh karena, maka ketika ada undangan yang dinisbatkan sebagai pinangan untuk dirinya, dengan penuh perrtimbangan, mengingat tiada lazim pihak perempuan menemui pihak laki-laki, namun dasarnya adalah persaudararan, berangkatlah bersama para pengawal dan parang dayang, namun tidak banyak yang ikut pergi ke sana, seperti yang diceritakan selama ini, dan menurutku tidak tepatlah peristiwa tersebut sebagai peristiwa perang layaknya adu dua kekuatan yang lengkap dengan persenjataan.

 

Hari telah menjelang sore, terlihat sebuah batu di tempat yang menjorok (sedong) seperti layak untuk diduduki dalam mengasingkan diri. Dikeluarkanlah  mahkota (makuta) dari dalam gendongan (buntelan), sebagai tanda atau identitas bahwa dia  seorang putri.      

 

Dalam pengembaraan itu tak seorang pun tahu bahwa dia adalah seorang putri kedaton dari sebuah kerajaan berdaulat, jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali pulang  dan menempati Kaputren tempat dia bercengkrama dengan handai taulan, bertemu dengan saudara dan Ibu permaisuri yang melahirkannya, namun dalam diri sudah bertekad tidak mungkin kembali ke Kerajaan, karena suatu alasan yang tidak dapat semua orang memahami apa yang sebenarnya sudah terjadi. Mereka hanya tahu bahwa kami semua sudah gugur dalam peristiwa tersebut.

 

Selama kurun dalam pengasingan bertapa, di  suatu waktu dan di suatu saat senantiasa mengadakan perjalanan ke daerah sekeliling, namun selalu kembali ke tempat dia bertapa di batu yang menyedong itu.

 

Seiring waktu dan masa berlalu jamanpun berubah sesuai kondisi dan situasi yang menyertainya, maka tempat di mana dia pernah mengeluarkan sebuah mahkota (Makuta : istilah dalam Bahasa Sunda). Tempat itu kini bernama Kampung Kuta, dan tempat bekas pertapaannya di batu yang menyedong tersebut bernama Kampung Sodong. Kedua tempat tersebut sekarang berada di wilayah kecamatan Tambaksari kabupaten Ciamis.
 
                                                                                          (by nimasgaluh, 2012)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar