Selasa, 08 Mei 2012

ARGUMENTASI PENULISAN SUATU KEJADIAN


Menuliskan sesuatu yang bertalian dengan satu kejadian, pasti sumbernya adalah fakta kejadian yang bersangkutan, namun tentu dalam proses perjalannnya terpengaruh oleh kondisi-kondisi yang dapat mewarnai inti dari kejadian tersebut. Hal ini,  salah satu tujuannnya adalah mempertimbangkan efek sivil yang ditimbulkannya.

Tulisan demikian bila ditelusuri kebenarannya harus didasarkan kepada bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan tingkat keakuratannya, apalagi suatu tulisan yang diadumaniskan dengan daya imajinatif. Tentu  nuansa tulisan tersebut akan  berbeda dengan tulisan hasil penelitian terhadap suatu kajian yang bersifat keilmiahan.

Bebagai factor dan di antaranya yang dominan mempengaruhi terhadap penulisan dari satu kejadian  adalah bila tulisan tersebut dihubungkan dengan phenomena kondisi politik yang menyertainya, didukung pula oleh tujuan dari penulisan tersebut untuk mengaburkan bahkan menghilangkan atau menghapuskan jejak. Tulisan bersangkutan  tentu akan mengundang berbagai versi untuk kajian generasi berikutnya yang ujung-ujungnya melahirkan kontroversi tak berkesudahan,  bak kelindan yang berputar terus-menerus tiada ujung, menjauhkan kesimpulan yang ajeg.

Celakanya  kalau suatu tulisan  itu  miskin dari bukti-bukti yang memang sengaja dihilangkan, sekalipun  ada tidak menutup kemungkinan dibuat rekayasa. Oleh karena itu,  benar pendapat yang mengatakan,   bahwa kebenaran  hakiki dari suatu kejadian adalah yang dimiliki oleh pelaku kejadian  itu sendiri,  dengan Tuhan Yang Maha Tahu dan Benar.

Alhasil seperti cerita kejadian “Perang Bubat”, sebagian pihak mengatakan begini…, sebagian pihak mengatakan  begitu…, bahkan ada sebagian pihak yang mengatakan kejadian Perang Bubat itu sama sekali tidak  pernah terjadi. Semua pihak memiliki argumen dan kajian masing-masing. Sangat logis dan manusiawi karena semua dari kita tentu mempunyai kepentingan dan egonya sendiri-sendiri.

Yang luput dari pengamatan bahwa setiap manusia mempunyai satu titik keutuhan dalam jiwanya yaitu “ TITIK KEBENARAN” , maka dari itu , dari sejarah harus menjadi  tarikan benang dalam suatu lingkaran kearifan yang merangkul toleransi nilai-nilai kehidupan kebersamaan yang tidak menimbulkan  konflik.

     Menyikapi terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang ditulis dengan penuh rekayasa, tentu memerlukan kehati-hatian tingkat tinggi agar dapat mengurai benang akar permasalahan tersebut. Mengapa hal tersebut menjadi demikian kenyataannya ? Sudah pasti kita tidak mau terjebak dari konflik permasalahan yang terkondisikan itu. Supaya kita berada di tempat  netral sesuai dengan kondisi kenyataan yang berlangsung, sedikitpun tidak berpihak kepada salah satu pihak yang terlibat dalam konflik tersebut mengharuskan bertindak “lantip pikiran, wening ati”’

Permasalahan yang diurai, tentu harus mencari data-data pendukung terhadap lahirnya sebuah rekayasa, termasuk pengaruh-pengaruh yang mempengaruhi yang membiaskan kondisi-kondisi tertentu demi menjaga sebuah pencitraan. Tidak menutup kemungkinan rekayasa dibangun dengan berbagai tujuan yang mendasarinya, di antaranya adalah sebagai berikut :

1.    Untuk menghilangkan jejak.

2.    Untuk kepentingan politik masing-masing pihak.

3.    Untuk mempertimbangkan evek sivil yang ditimbulkannya, bilamana suatu kejadian ditulis dengan sebenar-benarnya.

4.    Untuk mengklaim suatu pembenaran, hal ini tak lepas dari ego dan ambisi.

5.    Untuk mempengaruhi pihak lain  dari pihak di luar pihak yang terlibat dalam rangka mencari dukungan.

6.    Untuk menutupi kesalahan, mengapa hal tersebut terjadi.

7.    Untuk mencari popularitas.

8.    Untuk mempertahankan diri.

9.    Untuk menunjukkan super power.

Kita sebagai generasi yang diwarisi  suatu peristiwa tersebut,  tentu harus memiliki inisiasi tajam, bilamana ingin menegakkan kejujuran  dari sebuah peristiwa dan menghilangkan apriori-apriori yang bersifat subyektif. Kita menyadari bahwa manusia fitrahnya adalah mahluk yang tidak selamanya benar dan tidak selamanya salah. Maka terlalu naïf bila kita langsung tergesa-gesa menjudmen sesuatu yang belum tahu latar belakang terhadap kondisi yang mengkondisikan kepada peristiwa yang telah terjadi. Alih-alih bertujuan ingin menyampaikan kebenaran tapi tak menyadari bahwa dari kita terjebak dalam pusaran konflik yang berpihak.



Seringkali penulisan dari suatu kejadian tak lepas dari politik yang mengiringinya. Mengapa demikian ? Salah satu alasan  dari kejadian tersebut akan memberikan pengaruh psikologis terhadap masyarakat yang menjamaninya sampai pula kepada generasi berikutnya. Maka tak heran kalau di kemudian hari akan timbul kontroversi, karena kebenaran dari tulisan itu dipertaruhkan, seperti kejadian yang menjadi sentimen kesukuan antara Sunda dan Jawa yaitu peristiwa PERANG BUBAT. Perlu digarisbawahi  di sini,  akan disebut SKANDAL BUBAT, karena kalau  merujuk kepada sebutan Perang adalah tidak tepat, ,hal ini didasarkan kepada kondisi-kondisi yang mengkondisikan timbulnya kejadian tersebut bukanlah kondisi-kondisi sebagaimana layaknya Perang antar pihak yang bertikai. Jadi peristiwa tersebut sebut saja SKANDAL BUBAT.

Adanya penulisan peristiwa tersebut yang ditulis dalam KIDUNG SUNDA, bukan tidak mustahil bahwa penulisannya itu tak lepas dari unsur rekayasa, apalagi mengingat tidak dicantumkannya tahun penulisan peristiwa tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan penulisan tersebut   sebagai bentuk pencitraan atas keteledoran, kenapa peristiwa tersebut sampai terjadi dan untuk menjaga wibawa politik yang sedang dibangun, tentu saja hal ini adalah pihak Majapahit karena yang menyuruh menuliskan peristiwa tersebut tak lain adalah Majapahit sendiri,  selain itu juga untuk meracuni kebencian di  pihak  yang tersakiti atas keteledoran yang terjadi.

Alhasil sampai sekarang walaupun peristiwa tersebut sudah ratusan tahun yang lalu, tetapi sentimen kesukuan masih terasa hingga saat ini, perlu adanya pelurusan sejarah yang tidak memihak siapa pun, baik pihak yang telah membuat keteledoran maupun pihak yang tersakiti atas keteledoran tersebut.

Seperti telah dikaji oleh beberapa pengkaji yang bergiat dalam  mengkaji penulisan peristiwa SKANDAL BUBAT, adalah adanya kejanggalan penceritaan bahwa semua orang yang ada dalam rombongan Kerajaan Sunda Galuh termasuk rajanya yaitu Prabu Linggabuana  gugur,  bahkan putrinya melakukan bunuh diri. Bila dikaji secara mendalam atas penceritaan tersebut adanya unsur mendiskreditkan atau menghina pihak Sunda, mengapa karena didasarkan argumentasi pertama bahwa prilaku bunuh diri adalah bukan merupakan prilaku yang termasuk baik menurut nilai-nilai ajaran yang berlaku pada saat itu, bahkan sampai sekarang mengenai bunuh diri adalah merupakan hal yang melanggar aturan dan norma. Argumentasi kedua dengan dikabarkannya  penceritaan tersebut adalah   menutupi kesalahan pihak yang membuat keteledoran menjadi  terlindung di balik penceritaan tersebut.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar