Menuliskan
sesuatu yang bertalian dengan satu kejadian, pasti sumbernya adalah fakta
kejadian yang bersangkutan, namun tentu dalam proses perjalannnya terpengaruh
oleh kondisi-kondisi yang dapat mewarnai inti dari kejadian tersebut. Hal ini, salah satu tujuannnya adalah mempertimbangkan
efek sivil yang ditimbulkannya.
Tulisan
demikian bila ditelusuri kebenarannya harus didasarkan kepada bukti-bukti yang
dapat dipertanggungjawabkan tingkat keakuratannya, apalagi suatu tulisan yang
diadumaniskan dengan daya imajinatif. Tentu nuansa tulisan tersebut akan berbeda dengan tulisan hasil penelitian
terhadap suatu kajian yang bersifat keilmiahan.
Bebagai
factor dan di antaranya yang dominan mempengaruhi terhadap penulisan dari satu
kejadian adalah bila tulisan tersebut
dihubungkan dengan phenomena kondisi politik yang menyertainya, didukung pula
oleh tujuan dari penulisan tersebut untuk mengaburkan bahkan menghilangkan atau
menghapuskan jejak. Tulisan bersangkutan tentu akan mengundang berbagai versi untuk kajian
generasi berikutnya yang ujung-ujungnya melahirkan kontroversi tak berkesudahan,
bak kelindan yang berputar terus-menerus
tiada ujung, menjauhkan kesimpulan yang ajeg.
Celakanya kalau suatu tulisan itu miskin dari bukti-bukti yang memang sengaja dihilangkan,
sekalipun ada tidak menutup kemungkinan
dibuat rekayasa. Oleh karena itu, benar
pendapat yang mengatakan, bahwa kebenaran hakiki dari suatu kejadian adalah yang
dimiliki oleh pelaku kejadian itu sendiri,
dengan Tuhan Yang Maha Tahu dan Benar.
Alhasil
seperti cerita kejadian “Perang Bubat”, sebagian pihak mengatakan begini…,
sebagian pihak mengatakan begitu…,
bahkan ada sebagian pihak yang mengatakan kejadian Perang Bubat itu sama sekali
tidak pernah terjadi. Semua pihak
memiliki argumen dan kajian masing-masing. Sangat logis dan manusiawi karena
semua dari kita tentu mempunyai kepentingan dan egonya sendiri-sendiri.
Yang
luput dari pengamatan bahwa setiap manusia mempunyai satu titik keutuhan dalam
jiwanya yaitu “ TITIK KEBENARAN” , maka dari itu , dari sejarah harus menjadi tarikan benang dalam suatu lingkaran kearifan
yang merangkul toleransi nilai-nilai kehidupan kebersamaan yang tidak
menimbulkan konflik.
Menyikapi
terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang ditulis dengan penuh rekayasa,
tentu memerlukan kehati-hatian tingkat tinggi agar dapat mengurai benang akar
permasalahan tersebut. Mengapa hal tersebut menjadi demikian kenyataannya ?
Sudah pasti kita tidak mau terjebak dari konflik permasalahan yang
terkondisikan itu. Supaya kita berada di tempat
netral sesuai dengan kondisi kenyataan yang berlangsung, sedikitpun
tidak berpihak kepada salah satu pihak yang terlibat dalam konflik tersebut
mengharuskan bertindak “lantip pikiran, wening ati”’
Permasalahan yang diurai, tentu harus mencari data-data
pendukung terhadap lahirnya sebuah rekayasa, termasuk pengaruh-pengaruh yang
mempengaruhi yang membiaskan kondisi-kondisi tertentu demi menjaga sebuah
pencitraan. Tidak menutup kemungkinan rekayasa dibangun dengan berbagai tujuan
yang mendasarinya, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Untuk
menghilangkan jejak.
2. Untuk
kepentingan politik masing-masing pihak.
3. Untuk
mempertimbangkan evek sivil yang ditimbulkannya, bilamana suatu kejadian
ditulis dengan sebenar-benarnya.
4. Untuk
mengklaim suatu pembenaran, hal ini tak lepas dari ego dan ambisi.
5. Untuk
mempengaruhi pihak lain dari pihak di
luar pihak yang terlibat dalam rangka mencari dukungan.
6. Untuk
menutupi kesalahan, mengapa hal tersebut terjadi.
7. Untuk
mencari popularitas.
8. Untuk
mempertahankan diri.
9. Untuk
menunjukkan super power.
Kita sebagai generasi yang diwarisi suatu peristiwa tersebut, tentu harus memiliki inisiasi tajam, bilamana
ingin menegakkan kejujuran dari sebuah
peristiwa dan menghilangkan apriori-apriori yang bersifat subyektif. Kita
menyadari bahwa manusia fitrahnya adalah mahluk yang tidak selamanya benar dan
tidak selamanya salah. Maka terlalu naïf bila kita langsung tergesa-gesa
menjudmen sesuatu yang belum tahu latar belakang terhadap kondisi yang
mengkondisikan kepada peristiwa yang telah terjadi. Alih-alih bertujuan ingin
menyampaikan kebenaran tapi tak menyadari bahwa dari kita terjebak dalam
pusaran konflik yang berpihak.
Seringkali penulisan dari suatu kejadian tak lepas dari
politik yang mengiringinya. Mengapa demikian ? Salah satu alasan dari kejadian tersebut akan memberikan
pengaruh psikologis terhadap masyarakat yang menjamaninya sampai pula kepada
generasi berikutnya. Maka tak heran kalau di kemudian hari akan timbul
kontroversi, karena kebenaran dari tulisan itu dipertaruhkan, seperti kejadian
yang menjadi sentimen kesukuan antara Sunda dan Jawa yaitu peristiwa PERANG
BUBAT. Perlu digarisbawahi di sini, akan
disebut SKANDAL BUBAT, karena kalau merujuk kepada sebutan Perang adalah tidak
tepat, ,hal ini didasarkan kepada kondisi-kondisi yang mengkondisikan timbulnya
kejadian tersebut bukanlah kondisi-kondisi sebagaimana layaknya Perang antar
pihak yang bertikai. Jadi peristiwa tersebut sebut saja SKANDAL BUBAT.
Adanya penulisan peristiwa tersebut yang ditulis dalam
KIDUNG SUNDA, bukan tidak mustahil bahwa penulisannya itu tak lepas dari unsur
rekayasa, apalagi mengingat tidak dicantumkannya tahun penulisan peristiwa
tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan penulisan tersebut sebagai bentuk pencitraan atas keteledoran, kenapa
peristiwa tersebut sampai terjadi dan untuk menjaga wibawa politik yang sedang
dibangun, tentu saja hal ini adalah pihak Majapahit karena yang menyuruh
menuliskan peristiwa tersebut tak lain adalah Majapahit sendiri, selain itu juga untuk meracuni kebencian di pihak
yang tersakiti atas keteledoran yang terjadi.
Alhasil sampai sekarang walaupun peristiwa tersebut
sudah ratusan tahun yang lalu, tetapi sentimen kesukuan masih terasa hingga saat
ini, perlu adanya pelurusan sejarah yang tidak memihak siapa pun, baik pihak
yang telah membuat keteledoran maupun pihak yang tersakiti atas keteledoran
tersebut.
Seperti telah dikaji oleh beberapa pengkaji yang bergiat
dalam mengkaji penulisan peristiwa
SKANDAL BUBAT, adalah adanya kejanggalan penceritaan bahwa semua orang yang ada
dalam rombongan Kerajaan Sunda Galuh termasuk rajanya yaitu Prabu
Linggabuana gugur, bahkan putrinya melakukan bunuh diri. Bila
dikaji secara mendalam atas penceritaan tersebut adanya unsur mendiskreditkan
atau menghina pihak Sunda, mengapa karena didasarkan argumentasi pertama bahwa
prilaku bunuh diri adalah bukan merupakan prilaku yang termasuk baik menurut
nilai-nilai ajaran yang berlaku pada saat itu, bahkan sampai sekarang mengenai
bunuh diri adalah merupakan hal yang melanggar aturan dan norma. Argumentasi
kedua dengan dikabarkannya penceritaan
tersebut adalah menutupi kesalahan
pihak yang membuat keteledoran menjadi
terlindung di balik penceritaan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar